Kamis, 19 Mei 2011

All About Toraja

To na indanriki’ lino
To na pake sangattu’
Kunbai lau’ ri puyo
Pa’ Tondokkan marendeng


Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.

Ini cerita perjalanan saya ke Tana Toraja, dataran tinggi nan indah di Sulawesi Selatan belum lama berselang. Rasanya basi sekali menceritakan perjalanan ke daerah yang sudah ditulis puluhan ribu kali oleh orang banyak, baik orang dalam negeri ataupun dari mancanegara. Namun saya nekat. Lagipula dengan mengalami sendiri tentu berbeda cerita pada setiap individu. Kami yang pergi kesana memiliki motto, tidaklah lengkap pengalaman kami ke Sulawesi Selatan, apabila tidak mengunjungi Tana Toraja, sang Prima Donna Sulawesi Selatan, salah satu ikon turisme dan pariwisata Indonesia.

Perjalanan dari Makassar kami tempuh melalui darat. Dengan mobil Kijang Inova pinjaman, kami disini adalah perempuan berempat, semua teman sekantor, semua berisik, dan semua ibu-ibu yang sudah beranak. Lalu ditambah satu orang driver yang pendiam, dan satu orang teman kantor kami di Telkomsel Makassar, yang asli orang Toraja, dan juga pendiam. Kami bergerak meninggalkan Makassar selepas Maghrib. Menempuh perjalanan belasan jam melalu pegunungan. Karena perjalanan ditempuh pada malam hari kami tidak bisa melihat pemandangan alam di luar, yang pasti bayang-bayang gelap pegunungan menunjukkan betapa indah dan hebatnya tanah di Sulawesi Selatan diciptakan. Toraja dapat dicapai melalui perjalanan udara. Dari Makassar ke Toraja, penerbangan dua kali dalam seminggu yaitu hari Selasa dan Jum’at.

Jalanan tidak dapat dikatakan mulus di beberapa tempat, namun dikatakan rusak juga tidak. Masih dapat ditolerir oleh saya yang duduk paling belakang. Sinyal Telkomsel pun selalu ada untuk bersms, menelepon, chatting di YM dan sekali-kali membuka Facebook. Maklum perjalanan jauh, dan saya sulit tidur dengan kondisi badan terlonjak-lonjak seperti sekarung beras. Andaikan kami pergi di siang hari tentu kami dapat membuka jendela dan menikmati AG (Angin Gelebug) bukannya AC si udara kalengan melulu selama berjam-jam. Tapi membuka jendela di daerah antah berantah di tengah malam rasanya bukan ide cemerlang.

Jam 3 pagi barulah kami sampai di kota Makale, ibu kota kabupaten Toraja. Ancar-ancarnya kami sudah melewati patung Penunggang Kuda yaitu Patung Pongtiku sang pahlawan Toraja. Pongtiku disebut juga sebagai Ne Baso. Adalah pahlawan nasional yang berjuang mengusir Belanda dari Tana Toraja. Namanya diabadikan pula sebagai nama Bandara di Toraja. Melewati Makale ini penat dan pegal langsung lenyap seketika. Kami menginap di penginapan kecil yang nyaman (hore ada air hangat dan bersih!). Udara subuh terasa dingin seperti di Bandung. Hanya beberapa jam saja kami tidur. Pagi-pagi kami sarapan dan semua bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke tempat-tempat yang unik dan menarik.

Kebetulan pada saat kami disana, pemandu kami mengajak ke salah satu ritual upacara kematian. Agama adat dan kepercayaan Toraja disebut Aluk Todolo. Disana kematian merupakan puncak pencapaian dari kehidupan. Penguburan merupakan acara yang terpenting bahkan lebih penting daripada pernikahan. Menurut kebudayaan di Tana Toraja makin kaya dan makin berpengaruh orang yang meninggal maka akan makin memakan waktu upacaranya; bisa berminggu berbulan dan akan makin tinggi biaya pemakamannya.

Salah satu ritual upacara yang kami kunjungi ini adalah pembantaian kerbau. Kerbau yang dikorbankan disana adalah jenis kerbau air atau lumpur (yang betul air atau lumpur ya?). Kerbau Tedong Bonga adalah termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) merupakan endemik spesies yang hanya terdapat di Tana Toraja, yang paling mahal dan paling bernilai adalah kerbau bule. Kerbau bule harganya bisa ratusan juta. Banyak sekali kerbau yang dibantai. Saya tidak sanggup menghitung, bahkan melihat pun hanya kuat sekali dua kali. Bukan pemandangan yang sanggup saya tanggung melihat leher kerbau ditebas dengan sejenis parang atau machete; parang untuk kegunaan sehari-hari dan untuk perang berbeda. Untuk perang namanya la’bo’ pinae. Gagangnya dari tanduk kerbau yang diukir indah

Kerbau dibunuh dengan sekali (atau beberapa kali) tebasan yang mematikan, mencipratkan darah segar seperti semburan air mancur berwarna merah yang kemudian menggenang di tanah, dimana kerbau tersebut kemudian tergeletak, sekarat, kemudian mati dan bertumpuk dengan kerbau lainnya, bercampur darah dan kotorannya sendiri. Saya tidak tega melihatnya. Namun adat adalah adat. Banyak turis mancanegara yang hadir saat itu mengabadikan momen ini. Apabila sang penebas berhasil menebas leher dengan sekali tebasan yang mematikan, penonton akan bersorak sorai. Demikian pula bila gagal.

Setelah merasa pening dan mual melihat darah sebanyak itu, kemudian kami duduk-duduk menikmati makanan kecil khas Toraja di bangunan bambu yang dibuat untuk sementara. Sudah mendengar dan merasakan kopi Toraja adalah kopi jenis Arabica yang luar biasa enak? Rasanya ratusan kali lebih nikmat ternyata apabila disesap di udara Toraja yang hangat, di pedesaan, dan ditengah keramahan masyarakat Toraja.

Si mati itu sendiri ditempatkan di sebuah bangunan yang berbentuk rumah adat Toraja yang disebut Tongkonan. Bentuk Tongkonan seperti perahu. Bentuk seperti perahu itu karena masyarakat percaya bahwa pada jaman dahulu kala leluhur suku Toraja datang ke Tana Toraja dengan perahu besar. Saya naik ke atas ke tempat peti mati dengan tangga bambu yang disandarkan. Peti mati besar sekali dan dihiasi oleh ukiran dan ornamen khas Toraja, catnya warna-warni dengan motif khas. Warna-warna yang mendominasi adalah hitam, merah putih dan kuning.

Di depan peti mayat ada patung yang menyerupai orang yang meninggal, sesosok wanita tua mengenakan pakaian adat Toraja berwarna terakota dan bercaping bambu menutupi sebagian kepala sang patung; adalah potret nyata dalam wujud 3 dimensi orang yang meninggal. Dibuat mirip sekali dan dalam posisi duduk di depan peti mati. Patung ini disebut Tau-tau. Tau-tau adalah patung yang dibuat untuk menggambarkan mendiang. Pada pemakaman golongan bangsawan atau penguasa/pemimpin masyarakat salah satu unsur rapasan (pelengkap upacara acara adat), adalah pembuatan tau-tau. Tau-tau dibuat dari kayu nangka yang kuat dan pada saat penebangannya dilakukan secara adat.

Ada 3 orang wanita tua yang menunggui peti mati. Berbaju dengan model adat dan berwarna hitam seperti bulugagak. Mereka semua mengenakan kalung etnik Toraja yang berwarna cerah. Rambut mereka semua sudah memutih dan keriput di wajah menunjukkan ketuaan usia mereka. Di halaman rumah, tampak babi yang sudah mati ditusuk (tidak dipotong lehernya) tampak bergeletakan dan bulunya sudah hangus dibakar. Katanya sebagai bahan makanan untuk pesta yang dapat berlangsung berhari-hari bahkan minggu ini. Kain kuning bercorak dibentangkan di pinggir-pinggir bangunan bambu. Semua pemandangan ini adalah eksotis.

Dari sana kami bergerak menuju Lemo, desa yang memiliki tebing batu tempat pemakaman. Tempatnya indah. Disekitarnya adalah sawah yang menghijau.. Hijaunya sangat murni disini mungkin karena sinar matahari yang cerah dan udara pegunungan yang menyaring sinarnya. Lebah terdengar mendengung mencari bunga kopi. Tampak petani tampak membajak sawah, dan pepohonan hijau rapat dimana-mana. Terdapat toko-toko souvenir di jalanan batu yang menurun menuju ke tebing batu, namun tidak seperti tempat wisata yang pernah saya kunjungi, mereka tidak sibuk meneriakkan atau menawarkan dagangan mereka. Suasana hening. Mirip di desa Tenganan tempat suku Bali Aga. Tak terdengar orang ramai bercakap, tampaknya orang-orang senang bekerja dalam keheningan.

Dibawah tebing batu tampak usungan-usungan kayu berbentuk Tongkonan yang dibiarkan tergeletak, bunga-bunga dan papan-papan ucapan selamat tinggal bagi yang baru dikuburkan. Tebing-tebing banyak sudah berisi peti mati dan ada juga tebing batu yang tampak baru dibolongi dan masih dalam proses pengerjaan, tampak dibingkai kayu, pekerjaan itu dilakukan dengan menaiki tangga yang tinggi. Pekerjaan melubangi tebing batu itu tentu bukan pekerjaan yang ringan bahkan bisa berbulan-bulan, apalagi dikerjakan di ketinggian belasan meter dari atas tanah. Menilik tingginya kuburan di tebing tentu sulit sekali memasukan jenazah kesana. Pemandu kami bercerita, ada dongeng yang menyebutkan jaman dahulu orang yang meninggal oleh dukun dibuat berjalan sendiri ke kuburnya. Suasana jadi terasa mistis mendengar dongeng tersebut.

Suvenir di Toraja adalah barang seni yang indah. Kain tenun khas Toraja, ukira-ukiran kayu, barang-barang hiasan dari perak, banyak yang berbentuk kerbau. Boneka-boneka berwajah orang tua dari kayu mengenakan pakaian adat berbagai ukuran, gelang dan kalung etnik yang khas, pakaian, T-shirt, dan badik berbagai ukuran. Juga hiasan kepala untuk wanita dari untaian manik-manik dan benang-benang emas yang cantik. Saya tidak dapat mengingat semua. Kami banyak membeli oleh-oleh disini, harganya ada yang murah ada yang mahal. Saya membeli beberapa kain untuk dililitkan di leher (namanya syal yah?).

Sebetulnya banyak sekali tempat menarik untuk dikunjungi di Toraja, namun kami hanya mengunjungi beberapa saja, mengingat terbatasnya waktu. Kami menyebut perjalanan ini sebagai Wisata Kuburan. Adalah hal yang aneh dan unik tentu saja, bahwa mengunjungi kuburan-kuburan menjadi sesuatu yang menarik wisatawan. Tentu saja ini karena kekuatan adat dan budaya di Tana Toraja ini yang tidak ada duanya.

Dari sana kami ke To’doyan melihat kuburan bayi di pepohonan. Pohon Tarra adalah pohon besar yang digunakan sebagai makam bayi. Pohon ini secara alamiah memberi akar-akar tunggang yang secara teratur tumbuh membentuk rongga-rongga. Rongga inilah yang digunakan sebagai tempat menyimpan mayat bayi. Getah pohon dianggap sebagai pengganti susu ibu. Lubang-lubang di pohon tempat menguburkan jasad bayi ditutup dengan lembaran dari ijuk yang hitam.

Bayi yang meninggal dan belum tumbuh gigi dianggap suci sehingga dikuburkan di pohon sampai kemudian jasadnya akan menyatu dengan pohon itu sendiri dan rohnya mencapai puya atau surga menurut adat Toraja. Menurut kepercayaan Toraja, bayi terlalu kecil untuk menunggangi kerbau ke puya, sehingga pohon tara adalah media tempat arwah bayi mencapai puya.

Selanjutnya kami bergerak ke desa tradisional yaitu desa Kete Kesu. Tempat inisangat ikonik. Ada rumah adat Tongkonan tua dan lumbungnya, berjajar dan seringkali foto-fotonya dapat kita lihat sebagai poster khas wisata Tana Toraja. Di Tongkonan ini yang konon ada yang berusia lebih dari 150 tahun, dihiasi oleh tanduk kerbau yang berderet sampai ke atap dan juga di pinggirnya digantungkan jajaran tulang rahang kerbau yang sudah memutih dimakan usia. Di belakang tongkonan ada tangga batu ke tempat kuburan di tebing-tebing. Kuburan ini merupakan kuburan tertua, umurnya mencapai 750 tahun. Tampak peti mati yang disebut Erong yang sudah pecah karena lapuk menunjukkan isi berupa tulang belulang dan tengkorak manusia yang putih. Beberapa tengkorak ada yang sudah pecah. Banyak rokok yang berserakan di antara tulang-tulang ini, katanya untuk sesaji. Untuk perempuan yang belum menikah, peti matinya berbentuk babi.

Selanjutnya beberapa tempat makam tebing batu kami kunjungi. Salah satunya desa Londa. Londa adalah sebuah kompleks kuburan kuno yang terletak di dalam gua. Tebing di Londa tampak sangat tinggi. Dari kejauhan tampak berlubang-lubang. Di bagian luar gua terlihat boneka-boneka kayu khas Toraja di suatu ceruk yang dibentuk persegi panjang. Boneka-boneka si mati berjajar menatap kami.
Boneka-boneka merupakan replika atau miniatur dari jasad yang meninggal dan dikuburkan di tempat tersebut.Miniatur tersebut hanya diperuntukkan bagi bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi, warga biasa tidak mendapat kehormatan untuk dibuatkan patungnya. Kami menjelang sore disana, memandang patung-patung tersebut menimbulkan kesan tersendiri di kesunyian dan hujan gerimis yang mulai turun.

Sempat pula kami makan di restoran yang menyajikan ikan mas yang dimasak dengan bumbu khas daerahdisana. Saya pikir bumbunya memakai kluwek sehingga menjadi bersaus warna hitam yang gurih. Di restoran lainnya kami menemukan hidangan goreng burung. Menurut info sih, burung belibis. Seperti juga di Makassar, sambali di Toraja pun enak sek

ali,pedas dan segar. Mungkin terasinya yang memberi rasa khas yang berbeda. Anehnya perjalanan pulang kami rasakan lebih cepat daripada perginya. Mungkin masing-masing dari kami merasakan puas telah berkunjung ke Tana Toraja. Di perjalanan pulang saya tertidur dan sempat ngelindur dan berteriak sewaktu tidur. Saya bermimpi dicegat banyak orang tua yang tertawa-tawa menjahili saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar